Jumat, 04 Juli 2014

Cinta Indonesia? Cerdaskan!

Dari pelosok desa

"Indonesia harus pintar" kata Bapakku suatu hari. Mungkin perjalanannya menjelajah beberapa tempat di Indonesia membuat dia mengatakan itu. Bapak adalah anggota DPR-RI periode 98-2004 dan berada di Komisi Pendidikan. Dengan berbekal kedudukan di DPR dan  pengalaman berorganisasi di Muhammadiyah serta gemblengan kepanduan Hizbul Wathan, maka Bapak menggulirkan aksinya yang tanpa nama.


Kata Bapak, kalau Rakyat Indonesia tidak pintar maka mereka hanya akan berjejal-jejal di sektor pekerjaan 3D (Dirty, Danger, Difficult). Kita akan jadi jongos di negeri sendiri katanya sambil mengutip kalimat Bung Karno. 

Suatu hari Bapak mengungkapkan kondisi pendidikan di Papua yang dikutip dari rektor Universitas Cendrawasih. "Jangan heran, kalau ada mahasiswa yang masuk ke Uncen belum bisa baca". mengapa itu bisa terjadi? karena sebagian besar fasilitas pendidikan di sana memang belum memadai. bayangkan saja, sekolah bisa libur satu semester hanya karena  guru  mengambil gaji di pusat pemerintahan kabupaten atau propinsi.

Untuk bisa ke sana  kalau tidak lewat laut, ya lewat udara. Parahnya penerbangan dan pelayaran tidak setiap hari ada. kalaupun ada harganya sangat mahal. gaji satu bulan habis dibayar untuk ongkos kapal atau pesawat.

Di Wakatobi, Saya menyaksikan sendiri, berpuluh sampan  berdatangan dari tempat cukup jauh dan pulau sekitar untuk bisa sekolah di Wangi-wangi. Hanya ada satu SMA saja. Ya di Wangi-wangi itu. Di situ Bapak membuat SMA kelautan.

Kita pernah ditohok oleh beberapa foto menyedihkan. Sejumlah anak-anak sekolah harus berjuang menyebrangi jembatan yang rusak untuk bisa sekolah. foto yang lain meninju nurani kita, masih anak-anak SD menyeberangi sungai dengan arus yang deras. Kata media asing seperti melihat Indianan Jones. Pada saat yang sama para pemimpinnya hidup dalam gelimang kemewahan. Miris dan sakit hati dibuatnya. 

Tidak perlu terlalu jauh untuk melihat kondisi pendidikan yang tak merata. Tak begitu jauh dari rumahku, di kecamatan Cimenyan anak-anak harus sekolah dengan berjalan kaki berkilo meter dan disambung dengan ojeg dengan harga yang cukup mahal. Tentu saja itu masih lebih baik dibanding dengan banyak tempat di tanah air ini.

Kalau kondisinya begini, bagaimana bisa Indonesia Pintar?

Didik dan Cerdaskan
Suasana belajar di SMA Plus Babussalam Wakatobi
"Kalau kau cinta Indonesia, maka rakyat harus dicerdaskan. Buat sekolah di pelosok-pelosok negeri, kirim guru ke sana, suruh pelajar terbaiknya belajar di jawa dan bahkan ke luar negeri" kata bapak di rapat pesantren.

Gerakan tanpa nama untuk mencerdaskan bangsa itu memang sudah digulirkan lama. Kata orang kan harus berpikir global dengan aksi lokal. Pergerakan itu awalnya juga hanya skala local saja. Dimulai di utara Bandung. Di sini didirikan Pesantren Al Qur’an Babussalam dengan jenjang pendidikan mulai dari TK hingga SMA. Saya menjadi saksi atas pergerakan itu sejak tahun 1980, awal berdirinya.

Bapakku berasal dari sebuah pulau kecil di kaki pulau Sulawesi Selatan. Beliau merantau di Bandung dan mendirikan pesantren Babussalam. Setelah itu Bapak lalu membangun sekolah di kampong halamannya, Selayar Sulawesi Selatan. Orang sekarang mungkin akan kenal tempat itu jika disebut Aty Selayar, finalis dangdut Indonesia.

Pada masa tsunami menerjang Aceh, Selain membuat sekolah di Meulaboh dan Aceh besar. Bapak mengambil 20 anak-anak korban Tsunami. Untuk dididik dan dibina di Bandung. Dari 20 itu tersisa satu orang yang masih kuliah di pada bidang IT. Sudah menjadi komitmen bahwa setelah kuliahnya beres maka yang tersisa itu harus kembali ke Aceh dan mengembangkan ilmunya di sana.

Tak ketinggalan di Nias. Sebuah mesjid dan sekolah dibangun di Nias Selatan. Agar mesjid dan sekolah ini bisa berlanjut, direkrut dua orang santri yang disekolahkan di Bandung dan Jakarta.

Hal yang sama juga dilakukan untuk Solok Selatan. Dari tanah minankabau ada dua orang santri dan satu mahasiswa yang sekarang sedang dididik dan dipersiapkan untuk kembali ke kampung halamannya.  


Bagaimana pengaruhnya?
Di Ciburial era tahun 80-an, sangat susah mencari seorang  sarjana di desa Ciburial. Seiring berjalannya waktu, sekarang akan sangat susah untuk mendata sarjana di Ciburial saking banyaknya.

Umur pernikahan saat itu sangatlah muda. Anak-anak yang lulus SMP sudah dinikahkan. Masih saya ingat wajah teman-teman yang baru lulus smp sudah dinikahkan orang tuanya. Setahun kemudian ketika saya kelas 2 SMP mereka sudah menimang anak. Saya kelas 3, anak mereka sudah dua. Sekarang umur pernikahan rata-rata setelah selesai kuliah walau ada yang baru lulus SMA sudah dinikahkan.


Mendirikan sekolah di tempat seperti selayar sangatlah sulit. Ada guru yang mau mengajar saja di tempat itu sudah bagus. Untuk mengatasinya, maka Bapak merekrut hampir 15 orang calon guru dan dididik di Bandung. Setelah beberapa tahun tinggal di Bandung mereka kembali ke Selayar dan sekarang mereka menjadi pendidik-pendidik tangguh dan menjadi tempat bertanya guru-guru di Selayar.

Untuk menjaga kualitas pendidikan, dikirim juga santri alumni dari LN. Sekarang dia dan keluarganya malah betah tinggal di sana. Alumni dari sekolah di selayar, selain dikirim dan dididik di jawa juga dikirim ke beberapa universitas di luar negeri.

Di Wakatobi, bapak mendirikan sekolah kelautan. “sayang ya, kalau laut yang kaya dan indah seperti di wakatobi itu hanya dimanfaatkan orang luar saja” kata Bapak. Sudah tak aneh jika berton-ton ikan napoleon, lobster dan kekayaan laut lainnya hanya dikirim ke luar negeri sementara orang indonesianya hanya mendapat yang kualitas jeleknya.

Tidak ada yang menyangsikan keindahan laut Wakatobi. Keindahan bawah lautnya adalah surga bagi pencinta olah raga selam. Namun hampir 90 % operator selam di sana adalah milik orang asing. Orang asing itu menangguk untung dari keindahan alam bawah laut wakatobi.

Kolam Ikan penangkara ikan Napoleon di Wakatobi
Lewat SMA kelautan itu anak anak dididik untuk bisa memanfaatkan keunggulan alamnya. Laut yang kaya dan indah. Kalau dulu nelayan hanya bisa menjual mentahannya saja, sekarang mereka bisa menjual berbagai macam varian dari olahan ikan. Kalau dulu tidak ada yang bisa menyelam dan menjadi operator, sekarang sudah banyak operator lokal yang bisa menjamu wisatawan

Betulah ucapan Bapak, "Kalau cinta Indonesia, maka rakyat harus dicerdaskan”. 

link : 
Qurban di Wakatobi, mengapa tidak


(sebuah catatan yang diikutkan dalam kontes blog Aku dan Indonesiaku)

Aku dan Indonesia


2 komentar:

  1. Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan :Aku Dan Indonesia di BlogCamp
    Dicatat sebagai peserta
    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
  2. terima ksaih kunjungannnya Pak Dhe... sehat sejahtera selalu ya

    BalasHapus

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...